
Meskipun ada orang Kristen yang menganggap istilah tersebut menyinggung karena menghilangkan nama Yesus Kristus, sejarah menyingkapkan bahwa yang terjadi justru sebaliknya.
Dengan tibanya perayaan akhir tahun, perdebatan budaya kembali terjadi: apakah penggunaan kata “Xmas” merupakan pengganti kata “Natal” yang tidak sopan atau sekuler? Kritikus sering berpendapat bahwa bentuk yang disingkat menghilangkan Kristus dari perayaan tersebut. Akan tetapi, para sejarawan dan teolog menyatakan bahwa penafsiran ini salah dan tidak benar mengabaikan tradisi Kristen selama berabad-abad.
Kontroversi seputar “Xmas” bukanlah hal baru. Keberatan publik terhadap istilah tersebut sudah ada sejak dulu pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1957, majalah News and Views milik League of Churches of America menerbitkan sebuah artikel berjudul “X = The Unknown Quantity,” yang menyatakan bahwa singkatan tersebut mengurangi Kekristenan.
Ide tersebut kemudian dipromosikan oleh Gerald LK Smith, seorang penghasut politik dan pendeta yang dikenal menyebarkan teori konspirasi. Smith mengecam “Xmas” sebagai penghujatan, dan mengklaim hal itu menghapus nama Kristus.
Faktanya, “X” dalam “Xmas” berasal langsung dari praktik Kristen mula-mula. Perjanjian Baru adalah aslinya ditulis dalam bahasa Yunanidimana nama Kristus muncul sebagai Christos (Χριστός). Huruf pertama dari kata tersebut adalah huruf Yunani qui (Χ), yang sangat mirip dengan huruf Romawi “X”, jelasnya IFLScience.
Sejak abad-abad awal Kekristenan, para ahli Taurat menggunakan huruf X sebagai singkatan nama Kristus, khususnya dalam manuskrip-manuskrip yang ruangnya terbatas. Jauh dari kata tidak sopan, itu simbol dianggap sakral. Umat Kristen mula-mula juga menggunakan simbol Chi-Rho (☧), yang dibentuk oleh huruf Yunani qui dan rho, sebagai tanda rahasia iman selama periode ketika agama Kristen dilarang di Kekaisaran Romawi.
Singkatan ini hadir dalam bahasa Inggris jauh sebelum perdebatan budaya modern. Salah satu catatan penggunaan pertama berasal dari tahun 1021 M, ketika seorang juru tulis Anglo-Saxon menulis “Natal” untuk menghemat perkamen. Seiring waktu, ejaan berevolusi. Pada abad ke-16, varian seperti “X’temmas” muncul dalam dokumen resmi, termasuk surat yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Edward VI dari Inggris. Penggunaan sastra menyusul, dengan referensi penyair Samuel Taylor Coleridge “Natal” dalam puisi abad ke-18.
Para ahli mencatat bahwa “Xmas” bukanlah upaya untuk menghilangkan Kristus dari Natal, melainkan mencerminkan singkatan Kristen kuno yang berakar pada bahasa asli kitab suci.



